Biblioterapi
Oleh: Lisfarika
Napitupulu, M.Psi., Psikolog
Dirangkum dari :Treating child and adolescence aggression through
Bibliotherapy (by Zipora Schetman, 2009)
Proses terapeutik/ pengobatan gangguan psikologi dengan menggunakan buku, bukanlah hal yang baru, penggunaan buku sebagai sarana terapi dimulai pada awal abad ke 20, ketika Crothes (1916) mengenalkan istilah ini.
Sebagain besar orang orang menyadari
kekuatan terapeutik atau penyembuhan melaluii buku. Prose ini dapat berlangsung ketika seseorang fokus pada bacaanya/bukunya dan terbawa
kedalam cerita yang disajikan oleh buku, atau ketika bagian dari buku tersebut
muncul dalam sebuah film, dan kemudian orang tersebut merasa terlibat dengan
karakter yang muncul di film . Dia merasa gembira atau sedih, menangis ketika
karakter tersebut menderita, menginginkan yang terbaik untuk suatu karakter dan ingin karakter yang
jahat dihukum, pada akhirnya mereka mendapatkan pemahamam atau ide ide yang
berguna untuk kehidupan mereka.
Istilah biblioterapi terdiri dari
dua kata, yaitu biblio, yang berasal dari Kata Yunani yang berarti biblus (buku), dan terapi,
mengacu pada bantuan psikologis. Secara sederhana, dapat dinyatakan bahwa
biblioterapi adalah penggunaan buku untuk membantu seseorang memecahkan masalah
masalah yang dihadapinya. Kamus
Webster (1985, hlm. 148) mendefinisikan bibliotherapy sebagai '' panduan
dalam'' menyelesaikan masalah pribadi melalui membaca.'' Definis yang lebih komprehensif menyatakan
biblioterapi adalah bagian dari tehnik untuk menyusun interaksi antara
fasilitator dan peserta untuk sharing/ berbagi
buku atau literatur. Definisi lain
mengungkapkan bibliotherapy adalah
penggunaan literatur dan puisi dalam terapi bagi orang yang memiliki masalah emosional atau
mental. Semua definisi di atas memiliki satu benang merah: Biblioterapi melibatkan beberapa bentuk bacaan. Tapi tidak
semua ahli setuju jika bacaannya harus fiksi atau nonfiksi (Pardeck, 1998), dan
ada perbedaan yang jelas di antara terapis mengenai jumlah keterlibatan terapis/jumlah
dalam proses terapi.
Bnayaknya jumlah sesi terapi yang
diperlukan berbeda beda. jeis buku bervariasi, dari buku buku yang dapat
memotivasi, hingga buku yang bentuknya self-help. proses terapi adalah agen
terapi utama, yang akan mengantarkan seseorang pada perubahan. keterlibatan
terapis dalam aktivitas biblioterapi adalah sangat penting.
Perbedaan jumlah sesi terapi
dalam terapi biblioterapi ini sebagian
besar dipengaruhi oleh orientasi teoritis terapis, apakah menggunakan
pendekatan kognitif atau afektif. Terapis yang berorientasi pendekatan kognitif
menganggap proses belajar sebagai mekanisme utama perubahan perilaku, bahan
bacaan nonfiksi untuk mendidik individu ditetapkan sebagai cara untuk memberikan treatment pada orang yang memerlukan.
Biblioterapi dengan pendekatan
Kognitif
Karena terapis kognitif
menganggap proses belajar sebagai mekanisme utama perubahan, bahan bacaan yang
sifatnya non fiksi, ditentukan sebagai sarana terapeutik/penyembuhan. Ini bisa
berbetuk program tertulis, bahkan instruksi/kegiatan terapi program yang
disusun melalui program komputer, bisa dikatakan sebagai bentuk terapi
biblioterapi selama kegiatan ini membantu individu untuk meningkatkan fungsi
mereka (yang terhambat karena permasalahan psikologis). Biasanya kegiatan ini
sifatnya self-help (terapi yang di pimpin oleh diri sendiri) tanpa keterlibatan
terapis atau minim ketrelibatan terapis.
Sebaliknya, biblioterapi afektif
berasal dari teori psikodinamik yang dapat ditelusuri kembali ke Digmund Freud.
Ini mengacu pada penggunaan bahan tertulis untuk mengungkap
pikiran, perasaan, dan pengalaman
yang ditekan. Proses ini diasumsikan
terjadi ketika karakter (tokoh dalam buku ) menghadapi masalah, pembaca
terlibat secara emosional ketika membaca problem karakter, hingga pembaca
mendapatkan insight/ pemamahan atas situasi mereka (pembaca) sendiri. penekana
proses terapeutik terletak pada
proses emosional yang terjadi
ketika pembaca menanggapi permasalahan karakter (tokoh yang ada dibuku). Agar
proses in terjadi, diperlukan buku fiksi jenis sastra, dimana buku sastra
biasanya menghadirkan konflik, dilema yang membantu pembaca terhubung dengan
karakter. Dalam proses terapi Sangat direkomendasikan untuk menggunakan buku
sastra berkualitas bagus, dengan karakter kompleks, yang memungkinkan pembaca
menemukan insight/pemahaman atas masalah yang dihadapi. Proses biblioterapi
afektif memerlukan bantuan terapis untuk memak setiap proses yang dialami
pembaca ketika pembaca mulai menyelami karakter karakter dalam buku.
Asumsi dasar terapi
kognitif-perilaku adalah bahwa semua perilaku dipelajari, dan karena itu dapat
dipelajari kembali dengan bimbingan yang tepat. Dengan demikian, pendekatan
biblioterapi bergantung pada proses belajar sebagai katalis utama perubahan perilaku.
biblioterapi kognitif adalah proses belajar dari sumber bacaan yang berkualitas agar manfaat
terapeutik . Pada prinsipnya, biblioterapi kognitif adalah intervensi yang bersifat self-help di mana, yang
ditandai dengan tidak adanya atau minimanya peran terapis dalam proses terapeutik.
Ada ribuan buku yang sifatnya
self-help beredar di pasaran dan banyak digunakan orang orang sebagai self
help, tetapi tidak setiap buku self-help dianggap biblioterapi. Buku self help
dapat dikatakan sebagai biblioterapi bila disertai dengan adanya program dari
terapis.
Biblioterapi dengan pendekatan
Afektif.
Sebagaian besar biblioterapi yag
diberikan pada anak merupakan biblioterapi afektif. Biblioterapi afektif
menggunakan cerita fiksi dan literatur berkualitas lainnya. buku tersebut membantu pembaca terhubung dengan pengalaman
emosional dan situasi yang mereka hadapi melalui proses identifikasi. Berbeda dengan
kognitif biblioterapi, biblioterapi afektif dipengaruhi oleh teori
psikodinamik, yang dikaitkan dengan beberapa tokoh psikodinamik seperti Sigmund dan Anna Freud.
Asumsi dasar dalam afektif biblioterapi
adalah, bahwa orang menggunakan mekanisme pertahanan, seperti represi, untuk melindungi
diri dari rasa sakit. Ketika pertahanan seperti itu sering diaktifkan, seseorang menjadi tidak dapat memaknai
pengalaman emosionalnya, tidak menyadari perasaan sebenarnya yang mereka alami,
dan tidak mampu menyelesaikan masalah dengan konstruktif. cerita yang ada
didalam buku membantu dalam menawarkan kesadaran tentang masalah pribadi yang dihadapi. Proses ini menumbuhkan rasa aman pada klien,
karena mereka tidak langsung berhadapan dengan
isu-isu sensitif, isu-isu yang mengancam mereka, dan mungkin terlalu
menyakitkan jika masalah tersebut dipaparkan langsung pada mereka.