Senin, 26 Oktober 2020

 

ASESMEN FUNGSIONAL (Bagian II)

Oleh : Lisfarika Napitupulu, M.Psi., Psikolog.

Tulisan kali ini masih membahas asesmen fungsional, yaitu sebuah asesmen yang dilakukan sebelum memberikan modifikasi perilaku pada individu yang memerlukannya.

Prinsip dari analisa perilaku adalah jika perilaku terjadi karena dikontrol lingkungan, artinya perilaku/behavior  seseorang dikendalikan oleh rangsangan anteseden, dikendalikan oleh konsekuensi/consequences yang  memungkinkan perilaku tersebut berulang.

 

Asesmen fungsional adalah proses pengumpulan informasi tentang anteseden dan consequences yang secara fungsional berkaitan dengan terjadinya suatu perilaku masalah. Ini memberikan informasi yang membantu asesor/pemeriksa dalam menentukan  menentukan mengapa masalah perilaku terjadi (Drasgow, Yell, Bradley, & Shiner, 1999; Ellis & Magee, 1999; Horner & Carr, 1997; Iwata, Vollmer, & Zarcone, 1990; Iwata, Vollmer, Zarcone, & Rodgers, 1993; Larson & Maag, 1999; Lennox & Miltenberger, 1989; Neef, 1994).

Selain informasi tentang konsekuensi yang memperkuat/mempertahankan perilaku, asesmen fungsional

juga memberikan informasi rinci tentang rangsangan anteceden  (waktu,  tempat , perilaku orang-orang yang hadir saat perilaku terjadi, peristiwa lingkungan apa pun yang terjadi tepat sebelum perilaku, dan frekuensi  dari perilaku yang bermasalah )

 Asesmen fungsional juga memberikan jenis informasi lain, yang juga penting untuk mengembangkan intervensi yang tepat untuk mengatasi perilaku masalah, termasuk keberadaan perilaku alternatif yang mungkin secara fungsional setara dengan perilaku bermasalah, variabel motivasi (menetapkan hal hal yang mempengaruhi keefektifan rangsangan sebagai reinforcer (yang mempertahankan perilaku) dan punishment, rangsangan yang dapat berfungsi sebagai penguat (mempertahankan perilaku) bagi orang tersebut, dan riwayat intervensi yang pernah didapatkan  sebelumnya serta hasil intervensi.

 

Rangkuman informasi yang diperoleh dari asesmen Fungsional

·       Target perilaku /Perilaku bermasalah/behaviour : Deskripsi objektif mengenai perilaku yang digambarkan sebagai sumber masalah

·       Antecendents : Deskripsi objectif dari peristiwa yang ada dlilingkungan, yang memicu munculnya perilaku bermasalah (aspek fisik dari lingkungan dan perilaku orang orang disekitar

·       Consequences : deskripsi objektif dari peristiwa di lingkungan yang mengikuti kemunculan perilaku bermasalah (aspek fisik dari lingkungan dan perilaku orang orang disekitar )

·       Perilaku alternative : informasi mengenai alternative perolaku yang diharapkan sebagai pengganti perilaku bermasalah.

·       Variabel motivasional :informasi atas peristiwa di lingkungan yang dapat berfungsi untuk memelihara reinforcement  atau punishment

·       Reinforcer potensial : informasi dari kejadian disekitar lingkungan-termasuk stimulus fisik dan perilaku orang lain, yang mungkin berfungsi sebagai reinforcer dalam proses treatmen

·       Intervensi sebelumnya yang pernah diterima : informasi mengenai intervensi yang telah pernah diberikan sebelumnya dan mempengaruhi perilaku.

 

Function of problem behavior/Fungsi masalah perilaku

Ada empat consequences, yang dapat memperkuat perilaku bermasalah sehingga perilaku bermasalah sering muncul, yaitu :

1.social positive reinforcement

Perilaku bermasalah bertahan , ketika seseorang memperkuat perilaku bermasalah tersebut, misalnya  dengan memberikan perhatian, akses ke suatu tinakan, MisalnyaJacob menerima mainannya kembali dari anak-anak lain (lihat asesmen fungsional bagian I)

2. Penguatan Negatif Sosial/negative social reinforcement

Dalam beberapa kasus, perilaku bermasalah di pertahankan oleh orang lain. Ketika seseorang menghindari tindakan/perilaku yang tidak menyenangkan dari oran lain (orang yang memiliki perilaku bermasalah), maka hal ini dapat memperkuat perilaku bermasalah, misalnya  menghindari bau asap rokok  saat  berdekatan dengan orang yang merokok.  tindakan menhindari asap rokok tersebut merupan negative social reinforcement.

3. Penguatan Positif Otomatis/Automatic positive reinforcement

Dalam beberapa kasus, Perilaku bermasalah yang sering muncul, dapat disebabkan oleh penguatan otomatis, bukan orang lain atau situasi diluar dirinya. Misalnya, seorang penyandang autisme, yang  menggerak gerakan jari didepan wajahnya. Perilaku ini  bisa diperkuat secara otomatis. Menggerakkan bagian anggota tubuh tertentu (misalnya jari tangan), bagi penyandang autisme mampu mengahasilkan stimulasi sensorik yang menimbulkan perasaan nyaman, dan ini muncul secara otomatis.

4. Penguatan Negatif Otomatis/ Automatic negative reinformcement terjadi ketika perilaku bermasalah

menyebabkan hilangnya/berkurangnya stimulus yang tidak menyenangkan. Misalnya perilaku makan berlebihan. Banyak penelitan menemukan. jika perilaku makan berlebihan adalah salah satu cara untuk mengatasi suasana perasaan yang tidak enak (suasana perasaan yang tidak enak= stimulus yang tidak menyenangka), oleh karena itu, perilaku makan berlebihan akan selalu terulang, karena orang belajar dengan melakukan perilaku ini maka perasaan tidak menyenangkan akan hilang/berkurang.

 

Dirangkun dari Buku :

 Behaviour modification : principles and procedurs  (4th edition)by Raymond J,Milten Berger

 

Senin, 19 Oktober 2020

Intervensi  Non- klinis Anak Berkebutuhan khusus

Bermain sebagai sarana intervensi bagi anak berkebutuhan khusus

Oleh Lisfarika Napitupulu, M.Psi., Psikolog
 

Kegiatan bermain yang dilakukan secara alami, tanpa perencanaan, mampu menjadi sarana sesmen dan interventi, khususnya bagi anak anak yang memiliki permasalahan. Bermain dapat berfungsi sebagai intervensi awal, yang diberikan pada anak berkebutuhan khusus.
Intervensi  awal digambarkan sebagai sistem yang dirancang untuk mendukung pola interaksi keluarga yang paling baik dalam mendorong perkembangan anak (Guralnick, 2001). Intervensi dini  terdiri dari layanan multidisiplin yang diberikan kepada anak-anak sejak lahir sampai usia lima tahun (Shonkoff& Meisels, 2000).Blackman berpendapat bahwa “tujuan intervensi [masa kanak-kanak] adalah untuk mencegahatau meminimalkan keterbatasan fisik, kognitif, emosional, untuk anak anak yang memiliki  faktor risiko biologis atau lingkungan ”(2003: 2).
Sejumlah penelitian menekankan manfaat intervensi awal dalam proses mencapai target dan tujuan perkembangan anak penyandang disabilitas.  Bermain, merupakan salah satu bentuk intervensi awal yang dapat diberikan kepada anak yang mengalami keterlambatan perkembangan/anak anak yang mengalami disabilitas. Bermain memiliki peran sentral dalam intervensi dini untuk anak-anak penyandang disabilitas, dan digunakan sebagai sarana  asesmen  dan intervensi. Beberapa peneliti menganggap bermain bermain sebagai tahapan perkembangan anak, peneliti lainnya menganggap bermain sebagai media untuk pengembangan keterampilan khusus (Bergen, 1987), s (Lifter et al., 2011) . meningkatkan perkembangan dan kemampuan belajar anak (Casby, 2003;Lifter, 2008; Linder, 1993; Nwokah et al., 2013; Pierce, 1997).
 
Orang dewasa sering menggunakan kegiatan bermain untuk membantu anak-anak belajar ,dan sering menuntut permainan itu memiliki fungsi  untuk mencapai target pelajaran tertentu, dari pada untuk bersenang senang.
Tanpa menegsampingkan arti penting belajar,orang dewasa harus ingat bahwa ketika anak anak bermain, mereka tidak mencari fungsi dari bermain tersebut, namun se,estinya  mereka bermain untuk bersenang senang.Apabila kegiatan bermain pada anak terlalu diarahkan orang dewasa, hal ini dapat membuat anak menjadi tertekan, dan membuat mereka memberontak (Sutton-Smith, 1987).
 
Sangat penting untuk  dipahami oleh orang dewasa, jika mereka sebaiknya lebih memfasilitasi kegiatan bermain pada anak, dan mempromosikan permainan positif. Dukungan ini sangat bermanfaat bagi anak yang mengalami hambatan perkembangan.
 
 
Bermain sebagai sarana intervensi  Dini
Doris Bergen, melalui artikelnya yang menyarankan bermain sebagai sarana asesmen, prevensi dan intervensi untuk anak berkebutuhan khusus”(Bergen, 1991: 1).
Penggunaan permainan sebagai konteks untuk asesmen dan intervensi , serta sebagai sarana untuk keberhasilan  dalam perawatan awal dan pengaturan pendidikan intensif dilakukan mulai di1990-an (Buchanan & Johnson, 2009).
 
 Dalam analisis mereka tentang penggunaan permainan di intervensi awal, Lifter et al. (2011) menggambarkan  dua manfaat penting bermain bagi anak-anak penyandang disabilitas, yaitu untuk memfasilitasi pengembangan keterampilan bermain yang lebih baik dan menyediakan konteks /lingkungan bermain yang alami, untuk kepentingan setting klinis (misalnya unuk asesmen, intervensi dan kegiatan rehabilitasi).Program intervensi dini untuk anak-anak penyandang disabilitas umumnya berbasis pada tiga pendekatan berbeda:pendekatan  perilaku, perkembangan, dan kombinasi keduanya.
 
pendekatan perilaku bertujuan untuk menerapkan keterampilan baru, sementara bermaian berrdasarkan dua pendekatan lainnya lebih pada manfaat kegunaan permaian pada anak.
Model  Denver sebagai model awal penerapan konsep bermain, mempromosikan bermain melalui permainan rutin yang alami, jika di kombinasikan  dengan tehnik mengajar yang terstruktur, maka kegiatan ini berhubungan dengan terapi perilaku, dimana tujuannya adalah untuk mengembangkan keterampilan bermain dan kemampuan berbahasa (Rogers & Dawson,2010).
Beberapa program berikut, dikembangkan berdasarkan kombinasi dari dua pendekatan diatas, :
1.       TEACCH (treatmen dan Pendidikan Autis dan Komunikasi Anak berkebutuhan khusus) adalah program intervensi intensif untuk mempromosikan pembelajaran dan pengembangan kemampuan anak, khususnya di bidang komunikasi dan keterampilan sosial,kemandirian, keterampilan mengatasi, dan keterampilan untuk kehidupan sehari-hari. Anak-anak didukung oleh  lingkungan belajar yang sangat terstruktur (Peeremboom, 2003).
2.       JASPER(Joint Attention Symbolic Play Engagement Regulation) menargetkan dasar-dasar komunikasi sosial (perhatian bersama, meniru, bermain), menggunakan strategi naturalistik untuk meningkatkan kecepatan dan kompleksitas komunikasi sosial, dan termasuk orang tua dan guru sebagai pelaksana intervensi meningkatakn kemampuan anak menggeneralisasi keterampilan yang telah diberbagai seting dan aktivitas, peran mereka juga untuk mengontrol perkembangan anak dari waktu kewaktu (Kasari et al., 2012).
 
 

Referensi :

1.    Play in Early Intervention for Children with Disabilities by Vaska Stancheva-Popkostadinova and Tatjana Zorcec

2.    Intervensi Non Klinis Anak berkebutuhan khusus oleh Lisfarika Napitipulu, Tity Hastuty dan yulia Herawati.

 

 


Selasa, 13 Oktober 2020

 

Figure Drawings : Historical perspective (Bagian 2)

Dirangkum dari Buku Drawing in Assessment and Psychotherapy : Research and Aplication, edited by leonard Handler and Antoinette D. Thomas
 

Oleh Lisfarika Napitupulu, M.Psi., Psikolog

Elizabeth Munsterberg Koppitz, Ph.D atau yang lebih dikenal dengan koppitz, adalah seorang educator dan psikolog sekolah yang mengembangkan evaluasi psikologis anak dengan menggunakan gambar manusia (Human Figure drawings.)

Penelitian koppitz terhadap anak anak lebih difokuskan pada kecerdasann, namun ia juga tertarik untuk mengevaluasi kondisi kepribadian. Koppitz menyusun beberapa skala untuk untuk menentukan tingkatan perkembangan menggambar anak , dan dia juga mengembangkan sebuah skala sebagai yang  indikator emosi yang dialami seseorang.

Koppitz menguraikan  beberapa Indikator emosional yang dapat diungkap dari gambar, diantaranya adalah :

1.       Bagian-bagian gambar yang terkesan tidak menyatu / tidak  terintegrasi (anak laki laki 7tahun, anak perempuan 6 tahun)

2.       Shading pada badan atau anggota badan (anak laki laki 9 tahun, perempuan 8 tahun)

3.       Shading pada tangan/leher (anak laki laki 8 tahun, perempuan 7 tahun)

4.       Anggota tubuh yang digambar tidak simetris

5.       Gambar yang miring, gambar miring 15 derajat atau lebih

6.       Gambar yang kecil, 2 inchi atau kurang

7.       Gambar yang besar , 9 inchi atau lebih

8.       Gambar yang transparan/anggota tubuh terlihat

9.       Kepala yang kecil;. Kurang dari 1/10  dari keseluruhan gambar

10.   Mata di julingkan

11.   Memperlihatkan gambar gigi

12.   gambar lengan pendek, lengan tidak cukup untuk meraih pinggang

13.   Tangan yang panjang, terlalu panjang untuk meraih lutut

14.   Lengan menggantung disisi tubuh

15.   Tangan yang besar , tangan lebih besar dari wajah atau keseluruhan gambar

16.   Tangan terpotong, lengan tanpa tangan atau tanpa jari (tangan disembunyikan)

17.   Kaki saling menempel bersamaan

18.   Menggambar alat kelamin

19.   Menggambar monster atau gambar fantasi lainnya

20.   Membuat tiga gambar orang secara spontan

21.   Menggambar awan, hujan, salju

22.   Menghilangkan gambar : mata, hidung  (anak laki laki usia 6 tahun, anak perempuan usia 5 tahun)

Mulut,     badan, lengan  (anak laki laki 6 tahun, anak perempuan 5 tahun)

Lutut, kaki (anak laki laki 9 tahun, perempuan 7 tahun)

Leher (anak laki laki 10 tahun , anak perempuan 9 tahun)

 

Koppitz menggunakan pendekatan Psikoanalisa sebagai  dasar teorinya, namun dia juga menggunakan teori hubungan interpersonal dari  Harry stack Sullivan, yang fokus pada hubungan interpersonal.

 

Secara umum, interpretasi koppitz atas gambar, di fokuskan pada empat  kelompok, yaitu :

a.       Gambar yang mengungkapkan perasaan tidak aman/ perasaan tidak mampu, diindikasikan dengan gambar yang miring, kepala yang kecil;tangan terpotong, gambar monster atau gambar fantasi;menghilangkan gambar tangan atau kaki

b.      Gambar yang mengungkapkan anxiety/kecemasan, terdiri dari gambar yang memiliki shading pada wajah,    tubuh, kaki, atau leher ;kaki dirapatkan satu sama lain;menghilangkan gambar mata;menambahkan gambar awan;hujan;atau burung yang terbang

c.       Gambar yang mengungkapkan rasa malu/rasa takut

Terlihat dari gambar yang kecil,lengan yang pendek,lengan melekat pada tubuh

Menghilangkan hidung, dan/ mulut

d.      Gambar yang mengungkapkan kemarahan/agresif, terdiri dari kombinasi : mata yang dijulingkan, adanya gambar gigi;tangan yang panjang;tangan yang besar , gambar yang tidak berpakaian, dan /menggambar alat genital.

Dalam perkembangan selanjutnya beberapa peneliti juga mengkritisi temuan temuan koppitz, namun pengalaman para psikolog klinis yang melakukan praktik asesmen dengan menggunakan   gambar, menemukan banyak kesamaan dengan  temuan peneliti sebelumnya.

Gambar proyeksi, secra khas digunakan pada anak dan orang dewasa untuk mendapatkan pemahaman mengenai konflik , ketakutan yang dialami seseorang, juga menggali persepsi atas diri sendiri dan orang lain , menggali interaksi seseorang dengan anggota keluarga, juga mencari dugaan sementara/hipotesa untuk evaluasi berikutnya.

Senin, 12 Oktober 2020

 

ASESMEN FUNGSIONAL (Bagian 1)

Oleh Lisfarika Napitupulu, M.Psi., Psikolog.

 Materi kali ini adalah asesmen Fungsional, sebuah metode asesmen yang sering digunakan dalam intervensi modifikasi perilaku.  👇

Ketika prosedur modifikasi perilaku digunakan untuk meningkatkan sebuah perilaku atau menurunkan frekwensi kemunculan perilaku yang tidak diharapkan, langkah pertama yang harus dilakukan adalah memahami mengapa klien /subjek  memiliki perilaku tersebut. Untuk melakukan itu, langkah yang perlu dilakukan adalah melakukan asesmen tiga tahap untuk menentukan penyebab yang memicu munculnya perilaku, dan mencari tahu penguat apa dari lingkungan yang menyebabkan perilaku tersebut  bertahan. Proses mengidentifikasi ketiga variabel ini dinamakan asesmen Fungsional.


Contoh penerapan   asesmen Fungsional :Kasus Jacob

 Jacob,seorang anak yang berusia 2 tahun, tinggal bersama ibunya dan kakaknya yang berusia 4 tahun. Ibunya  bekerja diuar rumah, dan Jacob dititipkan di tempat penitipan anak, ada 10-15 anak yang dititipkan disana. Jacob dikeluhkan memiliki masalah perilaku, misalnya melempar benda benda, membenturkan kepalanya ke lantai dan merengek. Ibu Jacob menaruh perhatian pada masalah yang dialami Jacob dan menyetujui untuk berpartisipasi dalam experiment modifikasi perilaku, yang di pimpin oleh mahasiswa psikologi yang baru lulus, bernama Rich. Rich mencoba membantu Jacob, dengan cara mengurangi kemunculan perilaku yang dikeluhkan.

Langkah awal yang dilakukan Rich, adalah dengan menerapkan asesmen fungsional, untuk menentukan mengapa Jacob memiliki perilaku tersebut. Langkah awal dari asesmen fungsional adalah mewawancara Ibu Jacob, dan menanyakan masalah perilaku Jacob, tempat penitipan dan rutinitas di tempat penitipan, suasana yang menyebabkan perilaku tersebut muncul, akibat yang muncul ketika Jacob menampilkan perilaku tersebut, dan perilaku lainnya. Rich juga menanyakan, tindakan apa saja yang udah pernah dilakukan si ibu untuk memperbaiki perilaku Jacob

 

Selain melakukan interview, Rich Juga melakukan observasi pada Jacob di tempat penitipan Anak, dimana Jacob berada, merekam Antecedent (penyebab munculnya perilaku), perilaku yang muncul  (perilaku yang dikeluhkan), dan consequence/ konsekwensi dari lingkungan setiap kali jacob menampilkan perilaku tersebut. Rich melakukan pengamatan terhadap Jacob selama beberapa hari, sampai ia menemukan, Antecedent dan consequence apa yang menyebabkan perilaku Jacob muncul.

Diakhir asesmennya, Rich menyimpulkan fungsi dari masalah perilaku. Dia menetapkan jika Jacob akan lebih sering menampilkan perilaku yang dikeluhkan, ketika  Anak anak lain mengambil mainannya. Lebih lanjut, ketika Jacob menampilkan perilaku tersebut, seperti merengek, membenturkan kepalanya, atau melempar mainan, anak anak lain cenderung berhenti  memainkan mainan Jacob dan mengembalikan mainan tersebut pada Jacob. Jacob menyimpulkan, apa yang dilakukan anak anak lain (mengembalikan mainan Jacob, ketika Jacob merengek dsb),sebagai reinforcer atau penguat, sehingga perilaku tersebut terus ada/bertahan.

Untuk menguji dugaannya, Rich melakukan sebuah eksperimen. Selama beberapa hari, Ia meminta anak anak lain untuk tidak memegang mainan Jacob, dan dihari lain ia meminta anak anak lain memainkan mainan Jacob, dan segera mengembalikan mainan tersebut ketika Jacob mulai menunjukkan perilaku negative. Dari eksperimennya, Rich menemukan jika Jacob cenderung menampilkan perilaku bermasalah dihari hari dimana anak lain bermain dengan mainannya, sebaliknya dihari hari dimana teman temannya tidak menyentuh mainannya, Jacob tidak menampilkan perilaku yang bermasalah.

Eksperimen singkat ini menegaskan , jika anak anak yang mengambil mainan dan bermain dengan mainan Jacob adalah Antecedent dari perilaku bermasalah. Lebih jauh, Rich menyimpulkan Consequence yang juga merupakan reinforce (sehingga perilaku bermasalah tersebut tetap ada) adalah anak anak memberikan mainan tersebut kembali ke Jacob, setelah Jacob menampilkan perilaku negatif.

 


Treatment/penanganan Yang diberikan

Treatment untuk Jacob mencakup edukasi, yang mengajarkan Jacob agar meminta mainannya jika di ambil oleh anak anak yang lain. Meminta mainan, setara dengan perilaku bermasalah yang ditunjukkan Jacob, melalui cara ini, Rich mengajarkan Jacob untuk mendapatkan mainannya dengan cara yang lebih positif, dan apabila jacob meminta mainannya dengan cara yang lama, maka ia tidak akan mendapatkan mainannya.

Treatment ini membantu Jacob mengganti perilaku bermasalah (membanting kepala, merengek, melempar benda) dengan perilaku yang diharapkan (meminta mainan).

 

Dirangkun dari Buku :

 Behaviour modification : principles and procedurs  (4th edition)by Raymond J,Milten Berger

 

 

Minggu, 11 Oktober 2020

 

Metode Pencatatan Observasi : Checklist

Oleh: Lisfarika Napitupulu, M.Psi., Psikolog

Metode pencatatan dalam observasi sistematis biasanya menggunakan rating scale dan checklist (Yoder & Simons, 2009). Ceklist, mengharuskan observer harus sudah mengindikasikan perilaku yang muncul atau tidak muncul, sebaliknya rating scale   memberi nilai atas kualitas dan kuantitas perilaku tertentu. Misalnya, setelah mengamati interaksi antara anak dan orang tua, observer diminta untuk memberi nilai orang tua, seberapa responsif orang tua terhadap anak pada skala 5-7.

Ceklis memiliki Banyak kegunaan dan mudah untuk dilakukan. Ceklist digunakan untuk mencatat kehadiran atau ketidakhadiran sesuatu, misalnya daftar kehadiran siswa dikelas, daftar barang yang akaan dibeli. Ketika melakukan observasi pada anak , ceklis digunakan untuk merekam kemunculan perilaku tertentu , dalam situasi tertentu.

 

Brand (Bentzen, 1993), mencatat,ada dua bentuk data yang direkam oleh ceklis :

1.  1. Static descriptor, item yang mendeskripsikan ciri yang menetap/cenderung menetap  pada subjek,     misalnya ras, usia, jenis kelamin , status social ekonomi, ciri lingkungan fisik, waktu observasi

2.  2. Actions/actions class, mencakup perilaku yang diobservasi. Terdiri dari daftar perilaku yang akan    diamati, dibuat khusus untuk anak , observer memberi tanda pada perilaku tersebut, apabila perilaku tersebut muncul sepanjang sesi observasi. Ceklis juga digunakan untuk mencatat, apakah anak mampu menunjukkan perilaku yang diminta, biasanya ceklis  yang berbentuk ini merupakan suatu bentuk tes.

Ceklis memiliki beberapa keuntungan, misalnya mudah digunakan diberbagai situasi dan berbagai metode observasi (bisa digunakan pada seting observasi natural,eksperimen, partisipan, non partisipan, observasi sistematis). Ceklis efisien digunakan karena perilaku yang akan diamati sudah ditentukan. Namun penggunaan ceklis juga memiliki keterbatasan, misalnya tidak mampu merekam detail perilaku dan situasi yang diamati

Tabel berikut adalah contoh tabel ceklis, yang digunakan pada sebuah program (Head start program). Seperti yang terlihat, perilaku dapat di cek kapan saja, tapi observer mestilah yakin, jika anak bisa menampilkan perilaku tersebut , atau karakteristik /butir butir isi dari ceklis memang ada pada anak. Hal terpenting dari ceklis ini adalah  observer tidak terikat pada tempat dan waktu, pengamatana perilaku dapat dilakukan kapan saja.



Tahapan membuat ceklist :

1.       1. Tentukan perilaku yang akan diobservasi.

2.      2.  Tentukan definisi konseptual dan definisi operasional perilaku. Yoder & Symons (2009), menyatakan      jika definisi konseptual dan definisi perilaku dapat ditemukan dari :

a.       Literature ilmiah

b.      definisi yang didapat dari peneliti terdahulu

c.       Definisi yang didapat dari penelitian awal (pilot study).


 3. Merumuskan item observasi. Item observasi haruslah mencakup keseluruhan perilaku yang akan        diamati. Pada tahap ini, disarankan untuk membuat blueprint/ rancangan observasi. Misalkan Ceklis    motor and self help skills anak berikut. Ceklist ini bertujuan mengukur perilaku motorik anak        (motoric kasar /large motoric & fine motor (motorik halus) dan mengukur perilaku bantu diri  (self help) pada anak yang berusia 3- 6 tahun.

Ceklis motor and self help skills 




 

 Ceklis ini sebenarnya memiliki blueprint, yang menggambarkan item mana saja yang mengukur keterampilan motorik (fine &large motoric) dan item mana yang mengukur keterampilan bantu diri. Blue print ceklis diatas dapat dilihat pada tabel berikut



Pada contoh diatas, Blue print diatas hanya mengutip sebaran item yang mengukur keterampilan large motor & fine motor untuk usia 3-5 tahun.


Referensi :

  1. Seeing your children : A guide to observing and recording Behaviour (2nd edition) by Warren R.Bentzen (1993)/ Seluruh tabel dersumber dari buku ini.
  2. Observational Measurement of Behaviour by Paul Yoder and Frank Symons (2009)

 

Rabu, 07 Oktober 2020

Figure Drawings : Historical perspective (Bagian 1)


Oleh : Lisfarika Napitupulu, M.Psi., Psikolog


Dirangkum dari Buku Drawing in Assessment and Psychotherapy : Research and Aplication, edited by leonard Handler and Antoinette D. Thomas 


Gambar, adalah salah satu sarana asesmen kepribadian dalam Psikologi. Metode ini biasa di gunakan Psikolog dalam melakukan asesmen kepribadian. Sejarah penggunaan gambar sebagai sarana asesmen kepribadian cukup panjang. Tulisan ini mencoba merangkum sejarah, bagaimana gambar dapat menjadai sarana asesmen kepribadian.

 Gambar yang dibahas kali ini adalah gambar orang, atau tesnya dikenal dengan nama Draw a Man test (D-A-M) atau Draw a Person test (D-A-P). Meskipun gambar kuno manusia ditemukan di dinding dinding gua di eropa selatan dan sebagai relief pyramid yang ada di mesir, penggunaan gambar sebagai instrument asesmen kepribadian telah dimulai sejak tahun 1926, ketika Florence goodenough merancang dan menstandarisasi Draw A Man sebagai tes intelegensi non verbal. 
Sebelum tahun 1949, Karen Machover menyussn Draw a Person test (D-A-P), sebagai instrument klinis, namun ketertarikan para peneliti pada abad ini lebih ditujukan pada asesmen yang berhubunagn dengan ekspresi seni yang dibuat anak anak , terutama pada bidang psikologi, psikiatri dan art thetrapy, dimana pendekatan utama yang digunakan adalah psikoanalisa. Namun Malchiodi (1998) mencatat, asusmsi-asumsi Karen Machover kurang mendapat pengawasan , menurutnya juga, tes menggambar proyeksi tidak sensitive pada perubahan kebudayaan , gender dan tingkatan social ekonomi. Namun, review terhadap penelitian Kinetic family drawiang test, menemukan bahwa sejumlah besar penelitian tehnik menggambar proyeksi, merefleksikan perbedaan budaya. Umumnya penelitian-penelitian tersebut merupakan tugas akhir (desertasi), dan tidak di publikasikan. Sistem skoring/atau penilaian gambar proyektif tersebut, juga bervariasi, dan dokumen dokumen tersebut tidak memiliki panduan riset yang tepat. Pada intinya, menggambar telah dikenali sebagai cara asesmen yang penting ketika bahasa tidak dapat digunakan.

 Malchiodi menyatakan , gambar anak anak itu merefleksikan inner-world (fikiran dan perasaan ), menggambarkan beragam perasaan anak, dan memberikan informasi yang terkait dengan kondisi psikologis dan gaya membangun hubungan interpersonal. Meskipun anak menggunakan gambar untuk mengeksplorasi, untuk mengatasi masalah, memberikan bentuk visual/gambaran nyata dari ide dan pengamatan mereka terhadap sesautu, secara keseluruhan ada kesepakatan yang menyatakan jika ekspresi seni adalah pernyataan pribidi yang unik (menggambarkan diri seseorang ), yang terdiri dari unsur yang mengandung makna yang disadari oleh anak (Conscious) dan makna yang tidak disadari oleh anak (Unconscious).

 Pada akhir tahun 1800 dan awal tahun 1900, minat terhadap gambar juga berkembang dibeberapa daerah di Eropa. Minat ini mengarah pada seni yang dihasilkan oleh penderita gangguan mental dan orang orang dewasa yang mendapat perawatan kejiwaan. Cook (1985) menulis studi awal yang menjelaskan tahapan perkembangan seni pada anak, dan beberapa peneliti lainnya (Ricci 1887, Harris 1963 ) mempublikasikan hasil observasi gambar yang dibuat oleh anak anak yang berasal dari Italia. Pada Musim gugur tahun 1920, Goodenough mengumpulkan 4000 gambar dari anak anak TK hingga kelas 4 sd, untuk menentukan perbedaan dalam struktur gambar. Selanjutnya Goodenough (1926) dan Harris (1963), menyusun norma usia untuk gambar human figure drawing, dan skala (penilaian tersebut )di publikasikan sebagai Goodenough-Harris Drawing test atau Goodenough-Harris Draw A Person Test (Kamphaus, 1963).  Good enough merujuk tes yang dibuatnya dengan nama Draw A Man (DAM), karena intruksinya meminta anak untuk menggambar laki laki. Selanjutnya, Para klinisi mencatat DAM mengungkapkan juga sifat kepribadian, selain mengungkapkan kecerdasan (Buck, 1948, 1966, Machover 1949;Koppitz 1964, 1968;Hammer, 1958). Menjelang 1949, para klinisi mulai menyadari , bahwa gambar mencerminkan kondisi psikologis, dan instilah “projective drawings” menjadi popular . 

Malchiodi (1998) menyatakan ‘projective drawing test’ didasarkan ide bahwa respon anak anak melalui gambar khusus, seperti orangatua, tema-tema umum seperti pohon, rumah dan orang akan merefleksikan kepribadian, persepsi dan sikap. Gambar menawarkan alternative lain untuk mengekspresikan diri, dimana cara ini dapat memberi informasi mengenai anak yang tidak terungkapkan lewat kata kata. Meskipun buku yang disusun oleh Machover mendapatkan penilaian negatif, namun buku ini telah menjadi inspirasi dalam pengembangan D-A-P test, dan buku ini telah dicetak, paling tidak 11 kali. Buku ini sejalan dengan teori psikoanalisa. 
Asumsi dasar Machover adalah : Gambar manusia yang dibuat oleh seseorang, berhubungan secara erat dengan impuls/dorongan, kecemasan, konflik dan karakteristik individual, dalam arti gambar manusia mencerminkan orang, dan kertas yang digunakan untuk menggambar mencerminkan lingkungan .

  Biblioterapi Oleh: Lisfarika Napitupulu, M.Psi., Psikolog Dirangkum dari :Treating child and adolescence aggression through Bibliother...